Dalam melaksanakan bisnis perkreditan, bank tentunya ingin menggunakan suatu sistem yang baik, artinya mampu membedakan kredit yang baik dan yang tidak baik, dengan biaya yang efisien. Metode yang digunakan bank mengalami evolusi dari waktu ke waktu, dan upaya mencari cara yang ideal terus diupayakan dengan tujuan agar metode yang digunakan menjadi lebih baik.

Metode Tradisional menggunakan Expert Judgment

Untuk memutus kredit, secara tradisional, Bank sangat mengandalkan keahlian dari lending officer dan menganalisa kelayakan dari calon debitur. Karena cara ini sangat subyektif, maka sering terjadi kualitas keputusan menjadi tidak standar dan bervariasi antara pada lending officer. Selain itu, untuk menjadi analis yang handal diperlukan waktu lama dan pengalaman ‘berbuat kesalahan’ terlebih dahulu yang tentunya menimbulkan biaya tinggi bagi bank, apalagi untuk kredit kecil seperti segmen ritel dan konsumer, tentunya sumber daya yang diperlukan tidak sebanding dengan eksposur kreditnya.

Metode Rating – Scoring

Perkembangan selanjutnya, khususnya untuk kredit kecil yang sifatnya kurang lebih serupa misalnya KPR (Kredit Kepemilikan Rumah), kredit ritel dan mikro dan bahkan kredit komersial dan korporasi, bank beralih pada sistem rating (untuk segment korporat dan komersial) dan scoring (untuk segmen ritel dan konsumer). Sistem ini menjadi alat penetapan keputusan utama pada segmen kredit kecil dimana diperlukan keputusan kredit secara masal, di lain pihak, sistem rating menjadi informasi tambahan bagi segmen kredit komersial disamping keputusan atas dasar judgment sebagai metode utama.

Sistem scoring mempelajari data historis dari bank sendiri di masa lalu, melalui kajian parameter baik kualitatif (data rasio keuangan) dan kualitatif (misalnya kinerja pembayaran, informasi debitur dsb.). Bank menganalisa parameter mana yang ada pada kredit yang kemudian ternyata menjadi macet, dan parameter apa yang membuat kredit lancar. Dari kajian data ini, dengan menggunakan teknik statistika dengan memilih tingkat Prediksi yang tinggi, bank dapat menetapkan sejumlah parameter dan bobot masing-masing untuk digunakan sebagai alat Prediksi dan mengambil keputusan kredit, yang disebut dengan sistem scoring atau rating. Sistem tersebut dipercaya dapat membedakan kredit yang baik dan yang tidak baik dengan tingkat akurasi yang tinggi. Sistem scoring tetap mengandalkan agunan sebagai second way out.

Permasalahan

Metode scoring dan rating nyatanya ada kelemahan, antara lain membuat banyak orang menjadi tidak bankable. Dapat saja calon debitur yang sebenarnya baik ditolak oleh sistem, sehingga tidak mendukung upaya perbankan inklusif seperti yang didorong oleh Bank Indonesia dan OJK. Selain itu, Dengan berkembangnya jenis kredit tanpa agunan (KTA), sistem scoring mulai diragukan kehandalannya sebagai alat pengambil keputusan, karena tidak ada lagi yang disebut dengan second way out tersebut.

Digital Banking dan Artificial Intelligent

Dengan berkembangnya banyak usaha yang fokus di bidang pengumpulan data, dan sistem canggih yang mampu mengolah ‘big data’ menjadi informasi, maka bisnis data termasuk biro kredit menjadi berkembang. Usaha seperti Telkom mempunyai data yang besar dari para pelanggan Telkom menjadi pemasok data utama untuk informasi data ini, khususnya kalau calon debitur adalah pelanggan Telkom. Perusahaan lain yang bergerak di sistem pembayaran seperti OVO, Go-pay, Grab-pay, Tokopedia, Bukalapak dan sejenisnya juga memiliki data perilaku nasabah. Apabila kita log in pada suatu website misalnya menggunakan Facebook, maka semua informasi di situs tersebut akan terekam juga oleh sistem. Kalau di mall tiba-tiba ada SMS memberitahukan ada diskon di toko tertentu, kemungkinan Anda mengijinkan suatu sistem mangakses lokasi Anda. Semua informasi ini penting untuk perbankan memilah debitur yang baik dan yang tidak baik, dengan cara menggunakan mesin untuk mempelajari perilaku nasabah melalui misalnya sistem neural network sebagai robot otomatis memberikan informasi kualitas nasabah. Jadi dari tadinya mengandalkan data dari pengalaman bank sendiri, sekarang beralih menggunakan data dari beberapa pihak lain pemasok informasi kredit, termasuk sistem algoritma yang digunakan, dan bank yang dipaksa harus mempercayai bahwa sistem tersebut mempunyai daya Prediksi yang baik. Metode ini juga yang kemungkinan digunakan oleh perusahaan fintech yang melaksanakan bisnis P2P lending, dengan jumlah pinjaman yang relatif kecil, karena metode ini memang masih dalam tahap uji coba. Sekarang saja sudah ada masalah mengenai kredit macet dan cara penagihan yang dinilai tidak benar yang dilakukan oleh beberapa perusahaan P2P tersebut.

Manajemen Risiko

Pengelolaan risiko khususnya pengukuran risiko kredit pada dasarnya ingin menggambarkan distribusi kerugian akibat risiko kredit. Dengan tingkat keyakinan (confident level) tertentu, sesuai selera risiko, bank dapat melakukan kontrol atas potensi terjadinya kerugian melewati limit yang disebut dengan Credit VaR, yang juga digunakan oleh BCBS pada Basel II dalam menentukan kebutuhan modal untuk menutup risiko kredit (unexpected Loss) dengan metode internal rating based (Economic Capital).

Sistem dengan menggunakan big data bisa jadi lebih baik dalam daya Prediksi kualitas debitur apabila dibandingkan dengan sistem scoring yang dikenal selama ini karena menggunakan informasi perilaku yang lebih luas dari sekedar lancar atau macet. Namun demikian, sistem ini sudah barang tentu akan menjadi masalah besar apabila terjadi krisis keuangan seperti yang terjadi pada tahun 1998 dan 2008, karena tidak memperhatikan apa yang disebut dengan risiko pada buntut distribusi kerugian atau ‘tail risk’. Tentunya regulator akan menjaga agar hal seperti ini dapat dimitigasi dengan baik.